Event Details

-

-

Cerita Seorang Gadis 2

karya Amirah Hisanah Rosyanna Putri Nugroho

ig@amirahhisanah

       Akan ku tulis kembali kisahku di dalam sebuah cerpen ini. Cerita yang ku alami di waktu itu, masih belum terselesaikan. Dan, di dalam cerita ini, akan ku tulis peristiwa-peristiwa yang kualami hingga aku masuk ke rumah sakit kembali.

Pagi yang indah berseri, di ruang makan, aku, Mami, dan Papi, sarapan bersama di meja makan. Sejujurnya, aku sangat senang. Karena untuk pertama kalinya aku sarapan bersama kedua orang tuaku. Di sudut ruang makan, Bi Darmi menyunggingkan segaris senyum, melihat betapa bahagianya aku di pagi itu.

Saat sarapan berlangsung, aku berniat mengajak Mami dan Papi untuk joggging bersama. Akan tetapi, Mami dan Papi masih saja sibuk dengan pekerjaannya. “Mi, Pi, kita…. .” Belum sempat aku melanjutkan perkataanku, tiba-tiba terdengar suara derit telepon di ponsel milik Papi. “Sebentar ya, sayang,” kata Papi. Papi lalu berbicara di telepon dengan seseorang.

Aku pun menunggu Papi dengan sabar. Namun, setelah Papi menutup teleponnya, Papi memberitahu kepada Mami bahwa mereka harus cepat berangkat ke toko. Keyla merasa sedih. Bukankah waktu itu Mami pernah bilang bahwa mereka akan selalu ada untukku? Tapi kenapa sekarang terjadi lagi seperti sebelumnya? Keyla sangat kecewa.

Setelah pamit dan mencium keningku, Mami berpesan agar aku meminum obat. Setelah itu, Mami dan Papi bergegas berangkat ke toko dengan menggunakan mobil. Tinggallah aku sendiri di meja makan besar itu. Aku memasang wajah sedih. Bi Darmi lalu datang untuk menenangkanku.

Selesai sarapan, aku beranjak ke kamarku yang sangat sederhana. Kamarku yang bernuansa merah muda itu terlihat seperti perpustakaan. Banyak buku yang diatur sangat rapi di sebuah rak besar. Selain itu, kamarnys sangat bersih. Setelah menyalakan AC, aku mengambil ponsel milikku di atas laci meja. Aku lalu melakukan panggilan di telepon kepada Syela, sahabatku. Setelah diangkat, aku langsung bercerita kejadian yang kualami pagi tadi. Dengan sabar, Syela mendengarkan. Sebagai sahabat yang baik, Syela akan selalu ada untuk Keyla. Baik itu dalam keadaan susah maupun sedih. Syela siap menjadi pendengar yang baik jika Keyla ingin curhat dengannya.

 

Lama sekali kami berdua mengobrol di telepon. Hingga di tengah perbincangan, Syela memberitahukan kepadaku bahwa malam ini, sehabis shalat Maghrib nanti, diadakan pengajian untuk anak-anak di Masjid komplek . Syela mengajakku untuk ikut. Aku pun sangat menyeetujuinya.

Malamnya, Syela menjemputku di rumah. Bi Darmi berpesan agar aku berhati-hati ketika di jalan. Takut penyakitku akan kambuh. Aku mengangguk dan menuruti pesan Bi Darmi.

Sampai di Masjid, seorang ustadzah cantik memulai pengajian itu. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Anak-anak yang berada di pengajian itu dengan kompak mwenjawab salamnya. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”

“Anak-anakku sekalian, perkenalkan nama ustadzah, Ustadzah Aisyah. Kalian bisa memanggil ustadzah dengan sebutan Kakak Ustadzah ya,” kata Ustadzah Aisyah memperkenalkan diri. Kemudian, satu persatu Kakak Ustadzah Aisyah bertanya nama masing-masing anak. Ketika tiba giliranku, aku langsung menyebutkan namaku. Setelah semua anak telah menyebutkan namanya, Kakak Ustadzah Aisyah memulai pengajian.

Tema pengajian pada malam hari ini adalah berbakti kepada kedua orang tua. Aku mendengarkan dengan penuh perhatian. Kakak Ustadzah menjelaskan, jika kita ingin berbakti kepada kedua orang tua, kita harus taati perintahnya. Sebelum kedua orang tua menyuruh, kita mengerjakannya terlebih dahulu. Selama kita masih memiliki orang tua, kita doakanlah mereka dan meminta ridho kepada keduanya.

Kemudian, aku memberanikan diri mengangkat salah satu tanganku untuk bertanya. “Kakak Ustadzah, saya boleh bertanya?” Tanya Keyla. “Silahkan, Keyla!” Kakak Ustadzah Aisyah memepersilakan. “Kakak Ustadzah, apakah kita agar bisa membahagiakan kedua orang tua kita di dunia dan akhirat?” Tanya Keyla. “Bagus sekali pertanyaan dari Keyla. Kalau kalian ingin membahagiakan kedua orang tua kalian, kalian harus memiki semangat untuk menjadi Penghafal Quran yang taat. Taat kepada Allah, kepada Rasul-Nya, dan taat kepada kedua orang tua. Apakah kalian tahu, ganjaran bagi para penghafal Quran di surga kelak? Mereka akan memakaikan sebuah mahkota surga beserta jubahnya kepada kedua orang tua mereka. Selain itu, doa para Penghafal Quran itu adalah doa yang dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Asalkan kalian harus istiqamah menjalaninya. Insya Allah, kalian semua adalah calon para Penghafal Quran. Aamiin Ya Rabbal Alamin.” Jelas Kakak Ustadzah Aisyah panjang lebar. “Jadi, apakah Keyla sudah paham?” Tanya Kakak Ustadzah Aisyah kemudian. “Alhamdulillah, paham Kakak Ustadzah,” jawabku sambil tersenyum.

Setelah pengajian selesai, aku pulang bersama Syela dan Kakak Ustadzah Aisyah. Dalam perjalanan pulang, aku berkata pada Kakak Ustadzah Aisyah bahwa aku ingin belajar menghafal Al Quran. Kakak Ustadzah Aisyah sangat senang sekali mendengarnya. Kakak Ustadzah bilang, jika aku ingin belajar menghafal Al Quran dengannya, setiap selesai pengajian aku boleh menyetorkan hafalan kepadanya. Syela pun ingin ikut belajar Al Quran bersamaku. Aku senang bisa menghafal Al Quran bersama-sama dengan sahabatku.

Lalu, tiba-tiba saja, mendadak penyakitku kambuh. Aku merasa sangat pusing dan langsung tak sadarkan diri. Kakak Ustadzah dan Syela segera mencari pertolongan warga yang berada di sekitar lingkungan itu. Aku pun dibawa ke rumah.

Sampai di rumah, Bi Darmi sangat panik melihat kondisiku yang tidak sadarkan diri. Lalu, Bi Darmi segera meminta suaminya, Pak Amin untuk memanaskan mobil. Kang Cecep, anak Bi Darmi dan Pak Amin segera mengangkatku ke dalam mobil. Syela berkata pada Bi Darmi bahwa ia akan menyusul ke rumah sakit bersama kedua orang tuanya. Mereka bergegas menuju rumah sakit dengan mobil yang dikendarai Pak Amin. Bi Darmi meminta Kang Cecep untuk mengabari kedua orang tua Keyla. Kang Cecep pun dengan sigap langsung melaksanakan perintah.

Tak lama, setelah aku dilarikan ke rumah sakit, aku segera mendapat penanganan dokter. Dan kondisiku sedang kritis. Selang beberapa menit, kedua orang tuaku datang. Mereka mentapku dari kaca jendela kamar dengan wajah sedih dan sangat menyesal. Karena tak sempat mendengarkan perkataanku saat sarapan tadi pagi. (Bersambung)